Mimpi di siang bolong, itulah gambaran yang mungkin bisa diwakilkan pada harapan warga-negara di negeri ini untuk menghilangkan korupsi yang telah jadi musuh bersama. Jangankan warga-negara yang memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan beragam, para penegak hukum pun, sesungguhnya tak terlalu bisa dandalkan untuk membereskan masalah ini.
Simak saja, bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalankan pemberantasan korupsi di negeri ini, lembaga anti korupsi ini hanya mampu melakukan proses penindakan pelaku korupsi dan tak lebih. Meski begitu, penduduk Indonesia haruslah tetap mengapresiasi kerja-kerja yang telah dilakukan komisi ini.
KPK memang telah berhasil menjebloskan banyak koruptor ke penjara, di antaranya adalah hakim, jaksa, polisi, pejabat negara lainnya, pengusaha sebagai mitra mereka, bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi uniknya, hukuman itu tak banyak berpengaruh, karena korupsi tetap saja berlangsung secara massif, bahkan hingga kini.
Dari sekian banyak kasus penindakan korupsi oleh KPK, kemudian berujung pada dibuihnya para koruptor itu, maka sebagian besar merupakan kasus yang bermula dari sebuah proyek di instansi pemerintah atau proyek dengan dana dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kini pertanyaannya adalah, mengapa korupsi ini justru lebih banyak terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek instansi pemerintah? Memang tak mudah menjawabnya, tapi yang pasti, sedari awal dalam proyek-proyek pemerintah itu, telah ‘dirancang’ menjadi sarana bancakan uang bagi banyak pihak.
Bila dana APBN pada 2012 sekitar Rp 1,400 triliun, bisa dibayangkan berapa besarnya uang yang telah dirancang untuk dijadikan bancakan bagi pihak-pihak tertentu. Jika sepuluh persen saja uang tersebut dikorupsi, maka nilainya setara dengan Rp 140 triliun, angka yang sangat besar sekali.
Bagi pebisnis proyek pemerintah dengan dana APBN, tentu akan sangat paham sekali, bagaimana mereka harus banyak berdamai dengan keinginan orang dalam (orang instansi pemerintah). Jika seorang pengusaha tak bisa melakukan ini, maka ia akan mendapatkan banyak kesulitan, baik untuk mendapatkan atau menyelesaikan sebuah proyek.
Seorang pebisnis muda yang tidak mau di ketahui identitasnya menyatakan bahwa dalam setiap proyek dengan dana APBN, pasti ada korupsi yang dilakukan. Karena sangat kecil kemungkinannya, orang dalam tidak meminta ‘haknya’ ketika sebuah proyek pemerintah dilaksakan seorang pengusaha.
Apalagi sedari awal, orang dalam telah mempersiapkan segalanya, termasuk dalam tahap awal perencanaan sebuah proyek dan besaran dana yang dibutuhkan. Karena alasan tertentu, seperti nilai tukar uang atau kurs, inflasi dan lain sebagainya, maka dana sebuah proyek akan membengkak dari kebutuhan dasar dana yang sesungguhnya.
Kelebihan dana dari kebutuhan dasar inilah yang kemudian dijadikan bancakan orang dalam instansi pemerintah. Sedangkan pengusaha tak punya pilihan lain kecuali menerima itu semua demi kelangsungan usahanya dan orang-orang yang bekerja padanya.
Hal-hal seperti ini seharusnya jadi prioritas bagi penegak hukum dan instansi pemerintah untuk duduk bersama mencari jalan keluar agar korupsi benar-benar bisa diminimalisir atau bahkan mungkin dihilangkan di Indonesia. Bila celah yang memberi kesempatan bagi koruptor untuk menjalankan aksinya masih saja terbuka lebar, maka sesungguhnya ada yang tidak nyambung dalam strategi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Tanpa membereskan persoalan hulu di mana celah korupsi itu dipahat, maka keberadaan penegak hukum, seolah-olah hanya jadi fatamorgana saja. Atau sepertinya, KPK memang hanya kebagian peran menjadi super hero saja, yakni sebuah peran yang sesungguhnya hanya sebuah imajinasi dari banyak mansusia di dunia ini.