Oleh-oleh AS untuk Afgahanistan "Batu Ajaib"



Pemancar mini militer AS berbentuk batu

Mililter AS pada 2014 akan ditarik pulang dari Afghanistan, setelah beberapa tahun berperang di sana. Meski mereka kembali pulang, tapi militer Paman Sam akan tetap dapat melacak warga Afghanistan selama bertahun-tahun kemudian setelah berakhirnya konflik itu. Hal ini bisa terjadi, karena AS berencana akan menebarkan sensor sebesar telapak tangan di pedesaan Afghanistan untuk mendeteksi siapa saja yang bergerak di dekatnya dan melaporkan kembali, lokasi mereka ke markas terpencil.

Sebagian alat-alat itu akan ditanam di dalam tanah, tapi sebagian lainnya, bentuknya disamarkan seperti batu seukuran kuw wafer. Alat ini memiliki catu daya sel surya sehingga memungkinkan sensor dapat beroperasi hingga dua dekade lamanya.

Biasanya, selepas berakhirnya sebuah perang, mereka yang berkonflik mewariskan barang mematikan, yakni ranjau. Ranjau-ranjau ini dapat meledakkan warga sipil, setelah perang itu sendiri usai dalam waktu yang telah lama.

Penggunaan sensor ini, atau biasa disebut dengan UGSs, tidak akan menimbulkan kerusakan seperti ranjau. Tapi alat itu mampu  memberikan kemampuan abadi kepada Pentagon untuk memonitor medan perang dalam waktu yang panjang, setelah pasukan AS kembali ke rumah.

"Kita akan banyak menempatkan banyak operator khusus di Afghanistan. Mereka membutuhkan kemampuan untuk segera memadamkan potensi ancaman, sehingga harus dapat memantau sebuah desa, tanpa keterlibatan secara terbuka aparat AS,” kata Matt Plyburn, seorang eksekutif di Lockheed Martin, kontraktor pertahanan terbesar di dunia.

Sebelumnya, militer AS telah menggunakan sensor di atas tanah dalam bentuk lain sejak 1966, ketika pasukan AS menjatuhkan monitor akustik di jalur Ho Chi Minh. Begitu pula dengan puluhan ribu UGSs telah ditempatkan di Afghanistan dan Irak, membentuk parameter elektronik di sekitar pos-pos tempur dan menjaga lokasi terpencil. Ini adalah cara untuk memantau sebuah daerah yang luas, tapi dengan jumlah pasukan kecil.

Tragedi Diana, Persekongkolan Intelijen Inggris


Kematian Putri Diana menjadi perbincangan serius, tidak sedikit beberapa media di Eropa mencurigai akan keterlibatan M15 dan M16 dalam kematian Putri Diana.

Tulisan Brian Desborough ”Did M16 and M15 Orchestra Princess Diana Death?” menguatkan kemungkinan keterlibatan kedua institusi intelijen Inggris ini merancang kematian Putri Diana.

Sebelum terjadinya tragedi tersebut. Pada Malam hari, Putri Diana menuju apartemen Dodi Al Fayed. Mereka ini bermaksud mengadakan makan malam di Hotel Ritz. Philippe Dourneau sopir pribadi Dodi Al fayed mengantarkan mereka menggunakan mobil Mercedes 600.  

Dalam perjalanan, Dourneua membelokkan mobilnya di antara Hotel Ritz dan apartemen Dodi untuk menghindari paparazzi. Selanjutnya mengganti mobilnya dengan Mercedes Benz S280.

Kendaraan baru yang dipakai ini lebih baik dari mobil yang dipakai sebelumnya yaitu Mercedes 600 dan Henri Paul, kepala keamanan Ritz hotel menjadi sopir mereka.

Diana dan Dodi duduk di kursi belakang tanpa mengenakan sabuk pengaman. Hal ini disimpulkan setelah kecelakaan terjadi. Di kursi depan, duduk Trevor Rees-Jones, veteran Perang Teluk dan bekas pasukan payung, pengawal pribadi Dodi.

Paul sendiri bukan seorang profesional yang biasa mengendarai Mercedes seperti Daurneau. Bahkan Paul tidak mempunyai surat ijin mengemudi. Akhirnya Paul membawa pasangan ini menuju apartemen Dodi. Tapi anehnya sopir ini berputar-putar dulu sebelum sampai di apartemen dengan alasan untuk menghindari paparazzi.

Tiga paparazzi kemudian mengakui bahwa Paul meninggalkan Hotel Ritz dengan kecepatan tinggi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pengakuan keamanan hotel yang memberikan bukti video bahwa mobil mercedes tersebut meninggalkan hotel dengan kecepatan normal.

Setelah terjadinya kecelakaan ini, ada pemerikasaan pihak kepolisian yang mengutarakan darah Henri Paul tercampur kadar alkohol tinggi. Selain itu, kamera keamanan hotel menampakkan Paul tiba di hotel setelah pukul 10.00 malam dan tidak adanya tingkah laku yang aneh ketika memarkirkan mobil.

Ketika tiba di hotel, Paul menghubungi pengawal Al Fayed Trevor Ree Jones dan “Kes” Wingfield. Tidak ada seorang pun di antara mereka mengamati kondisi Henri Paul yang telah mabuk. 

Penyelidikan
Menurut pengakuan Dr Freederick Mailliez bahwa kekurangan oksigen yang mengakhiri hidup Diana,  kemudian pendapat ini menjadi kontroversi.
Penyelidikan hakim Hervé Stephan menghubungkan tabrakan Henri Paul dengan kondisi mabuknya Paul Henri. Pengawal Al Fayed Trevor Jones, yang melihat secara langsung kejadian ini memberikan kesaksian tapi belum bisa menunjukkan adanya unsur kesengajaan dalam peristiwa tabrakan ini.

Juru bicara kedutaan Inggris di Paris mengakui staf kedutaan tidak menyadari Putri Diana berada di kota Paris, pengakuan ini disangkal oleh fakta dua anggota senior M16 berada di kedutaan bersamaan dengan kedatangan Putri Diana.

Pihak penyelidik dan media melihat peristiwa tabrakan ini banyak terjadi kejanggalan terutama ditujukan pada Henri Paul. Dan ada kesan peristiwa ini akan diliput secara besar-besaran.

Pemberitaan media mengakui bahwa Paul sedang melawan ketergantungan alkohol. Tapi berdasarkan otopsi kondisi livernya dalam keadaan normal. Menurut teman Henri Paul, dia tidak menjadi pemabuk karena untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh.

Selain itu, dia telah berhasil ujian kesehatan untuk memperpanjang ijin pilot beberapa hari sebelum dia meninggal. Dia mencintai musik klasik dan mempunyai keinginan besar menerbangkan pesawat.

Kemungkinan contoh tingginya kadar alkohol di darahnya tidak dapat dijadikan bukti, karena contoh darahnya tidak sempat masuk pendingin, karena secara cepat darah mengalami kebusukan. Hal ini tidak dapat dipublikasikan .

Ada pengakuan lain yang menyebutkan dalam darah Paul mempunyai kadar kadar monoksida 20,7 persen di mana memungkinkan kematiannya sangat tinggi.

Menurut Komandan Mules, Kepala keamanan pasukan kriminal Paris yang mewakili pihak penyelidik peristiwa tabrakan ini mengatakan karbon monoksida dihirup ketika kantong udara yang berfungsi sebagai pengamanan secara otomatis mengamankan sopir.

Ini sangat tidak mungkin terjadi karena perusahaan Mercedes Benz telah mempublikasikan kantong udara yang berisi karbon monoksida yang bebas dari bahan kimia.

Biasanya untuk pemadam kebakaran pemadam Perancis menggunakan detektor karbon monoksida. Tidak ada pemadam kebakaran yang tertabrak dan mati karena gas yang dikeluarkan.

Berdasarkan otopsi pihak Perancis, sebenarnya Henri Paul meninggal seketika akibat tabrakan. Luka ini akan mencegah karbon monoksida beredar ke seluruh tubuh.

Muhammad Al-fayed, ayah Dodi Al fayed menolak permintaan pihak keamanan Perancis untuk menganalisa darah dan DNA. Karena Al Fayed percaya kematian putranya merupakan skenario intelijen Inggris.

Al-Fayed menegaskan bahwa Diana, ibunda Pangeran William dan Pangeran Harry, dibunuh sesuai skenario intelijen dengan arahan Pangeran Phillip agar mencegah Diana menikahi seorang muslim. Al-Fayed bahkan mencoba untuk meminta Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip bersaksi di pengadilan.

Ada hal yang aneh, pihak berwenang Perancis mengabaikan pernyataan yang dibuat oleh beberapa negara seperti Inggris, AS dan beberapa saksi mata tabrakan fatal di Alma. Pihak berwenang Perancis juga menolak contoh darah untuk dianalisa oleh ahli patologi independen.

Konspirasi M16

Jauh hari sebelum peristiwa yang merenggut jiwanya ini  Putri Diana menulis surat adanya rasa takut karena akan menjadi target pembunuhan. Bahkan ia menyebut fase hidupnya sangat berbahaya, karena dalam beberapa kesempatan Pangeran Charles-suami Putri Diana mencoba menabrakan mobilnya.

Ketakutan pembunuhan Diana menjadi masuk akal jika mempertimbangkan keterangan singkat anak-anaknya dan hubungannya dengan keluarga kerajaan.

Surat tersebut diungkapkan Paul Burrel, salah satu pembantu pribadi Putri Diana dalam sebuah buku karyanya yang berjudul ”Royal Duty”.

Kenyataan itu terungkap dalam surat pribadi sang putri kepada Burrell bulan Oktober 1996. Dalam surat itu, sang putri mengungkapkan kehawatiran mendalam tentang adanya pihak yang merencanakan kematiannya.

Burrell yang oleh Diana sering disebut "my rock" itu juga menyinggung perlakuan Pangeran Charles kepada Diana yang diungkapkan dalam surat pribadi tersebut. Diceritakan dalam buku itu, Charles menempatkan Diana ke dalam "neraka".

Selain itu, Diana juga mengungkapkan kerinduannya untuk bisa memeluk Ratu Elizabeth, sang ibu mertua.

Dalam surat itu pula, Diana menuliskan perasaannya yang terdalam. Dikatakan, selama 15 tahun ini, secara mental ia telah terpukul, tersakiti hatinya serta teraniaya oleh sistem yang ada di kerajaan. Namun, ia pun menegaskan, kekuatan di dalam dirinyalah yang akan menahannya untuk tetap teguh di bawah seluruh tekanan itu.

Sesaat setelah Diana dan Dodi tewas dalam kecelakaan dahsyat di Paris, 31 Agustus 1997, Paul Burrell justru disidang karena dituduh mencuri barang berharga Diana.

Surat Diana itu kembali membawa berbagai pihak pada pemikiran adanya konspirasi di balik kematian sang putri. M15 dan M16 yang merencanakan kematiannya?  Namun, setidaknya ada dua teori utama yang mendukung asumsi tersebut.

Elemen rahasia M15 dan MI6 menyatakan Diana sebagai ancaman kerajaan yang berarti Diana juga ancaman bagi negara. Karena itu, ia harus "dilenyapkan".

Selain itu, kemungkinan Diana mengikuti keyakinan Dodi, juga mengkhawatirkan Inggris. Terutama pada implikasi kemungkinan itu bagi Gereja dan negara. Selain itu, pada Pangeran William dan Harry yang kemungkinan besar mengikuti langkah sang ibu.

Keterlibatan MI6 didukung beberapa bukti. Bukti utama adalah keputusan segera memakamkan jenazah Diana dan Dodi tanpa pemeriksaan mayat (post mortem). Padahal, hukum Inggris mencanangkan perlunya pemeriksaan mayat bagi korban tewas mendadak.

Unsur kecurigaan lain adalah raibnya mobil Fiat Uno putih. Mobil itu jelas diketahui sebagai pihak yang menabrak mobil Diana dan Dodi. Hal itu terlacak dari cat putih yang tertinggal di badan mobil Diana tersebut.

Selain itu faktor Henri Paul, sang sopir. Informasi seputar Henri terus berubah. Sebelumnya dilaporkan, ia mengendarai dalam kecepatan 120 mil per jam. Namun, para ahli mengatakan, mobil itu saat kecelakaan hanya berkecepatan paling tinggi 60 mph.

Kemudian, ia dilaporkan mabuk. Namun, tidak ada bukti pendukung, termasuk dari tes darah di jasad Henri. Kecurigaan lain timbul pada gaji Henri Paul. Ia tercatat memiliki sekitar 20.000 poundsterling di rekeningnya. Jumlah yang terlalu tinggi untuk satu jabatan sementara Kepala Keamanan Hotel Ritz.

Beberapa pihak menyatakan, Henri sebenarnya adalah agen rahasia "tidur" yang hanya bangun saat sangat diperlukan.

Selain itu, juga faktor sang pengawal, Trevor Rees-Jones, sebagai satu-satunya penumpang yang selamat. Sebelumnya muncul rumor bahwa Jones adalah agen "tidur" M16.

Kecurigaan itu diperkuat saksi mata yang mengatakan mendengar ledakan yang diikuti suara "dor" sebelum kecelakaan. Saksi mata lain menggambarkan, lampu kilat yang terlihat sebelum kecelakaan jauh lebih besar dibandingkan dengan lampu kamera.

Seiring dengan itu, mantan kekasih Diana, James Hewitt, juga beberapa kali mendapat peringatan untuk tidak lagi menemui Diana. Jika melanggar peringatan itu, Hewitt diancam akan menderita sakit berkepanjangan.

Unsur terakhir adalah kehadiran Paparazzi. Banyak saksi mata setuju faktor ini sebenarnya bukan unsur penentu. Dengan alasan, kendaraan mereka tidak berdekatan mobil Diana. Sehingga, sedikit kemungkinan mereka bisa menghambat laju mobil tersebut.

Semua unsur itu diakui masih berupa kemungkinan. Perlu berbagai upaya lain untuk menyingkap tabir yang mengakhiri satu perjalanan hidup anak manusia itu. Harian Inggris The Mirror menurunkan laporan yang memperkuat asumsi tersebut.

Mirror menurunkan dokumen yang dinyatakan asli dari agen rahasia M16. Dokumen itu bisa sampai ke tangan publik setelah ayah Dodi, Mohamed Al-Fayed, membayar sekitar 10 juta poundsterling melalui beberapa kali pertemuan di Wina.

Dokumen itu secara gamblang memuat  MI-6 dalam "menyelesaikan" kasus Diana. Dokumen itu antara lain memuat komentar Duke of Edinburgh tentang hubungan Diana dengan Dodi. (repro INTELIJEN)

SBY Nyalon Lagi ?? Presiden RI 2014, Hak Preogratif Tuhan


Terpilihnya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden RI pertama lewat Pilpres secara langsung pada 2004, bukanlah sesuatu yang tidak bisa diprediksikan. Terlepas dari pro dan kontra terkait kinerjanya saat ini, mantan Menkopolhukam tersebut, pada waktu itu adalah sosok populis dengan banyak prestasi yang digenggamnya.


Salah satu prestasi itu adalah menjadi solution maker atas beberapa konflik horizontal yang terjadi di negeri ini. SBY bersama Jusuf Kalla (JK) yang menjabat sebagai Menkokesra, mampu berduet dan saling melengkapi menyelesaikan konflik horizontal di tengah masyarakat pada Kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri.

Bukan hanya itu, SBY juga memiliki jaringan internasional mumpuni, khususnya dengan negara-negara Barat. Ia tercatat pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya. Diakui atau tidak, restu internasional terhadap capres di negeri ini juga ikut menentukan, bisa atau tidaknya seseorang menjadi presiden.

Tapi ironisnya kini, hingga dua tahun jelang Pilpres 2014, sosok yang mumpuni seperti SBY atau pun JK, tak juga muncul. Sedangkan beberapa tokoh nasional yang hadir di bursa awal pencapresan saat ini, bukanlah mereka yang bisa disebut sebagai sosok populis dan solution maker, apalagi memiliki jaringan internasional mumpuni.

Sebut saja Aburizal Bakri, Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, bahkan Anas Urbaningrum. Nama-nama mereka bisa jadi populis di mata rakyat Indonesia, tapi sampai saat ini, keempatnya belum bisa membuktikan bahwa mereka adalah sosok yang bisa diandalkan untuk menjadi solution maker.

Belum lagi jaringan internasional yang belum dimiliki secara memadai oleh para bakal capres tersebut. Ical sapaan Aburizal Bakri, lewat jaringan bisnis dan kepartaiannya, hanya memiliki jaringan internasional canggung, baik dengan Cina atau pun dengan AS.

Begitu pula dengan Hatta, keberadaan jaringan internasionalnya sama sekali belum teruji. Sedangkan Prabowo, memang dikenal memiliki jaringan internasional, tapi hanya sebatas di negara-negara Timur Tengah yang notabene tidak memiliki bargaining tinggi dalam konstelasi politik global, bila dibandingkan dengan negara-negara Barat.

Hal serupa terjadi pada Anas, tokoh muda ini disinyalir samasekali tidak memiliki jaringan internasional. Tapi kekurangan ini diharapkan akan didapatkan dari Ulil Abshar Abdallah yang konon bergabung ke Partai Demokrat karena dipinang Anas secara langsung. Ulil dikenal dekat dengan para elit negara Paman Sam.

Karena banyaknya kekurangan yang dimiliki para bakal capres tersebut, maka bisa dipastikan rakyat akan kesulitan menentukan siapa pemimpin yang paling tepat dan dapat diandalkan untuk menahkodai negeri ini setelah Presiden SBY. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, maka sudah saatnya bagi rakyat Indonesia, mengharapkan Tuhan menggunakan hak preogratifnya, memilih sosok yang pantas memimpin negeri ini pada 2014.

Konon, pilihan Tuhan tak pernah salah bagi umatnya. Begitu pula bila seluruh rakyat Indonesia serius berdoa agar diberikan pemimpin terbaik, karena hanya dengan cara seperti itu, rakyat bisa melibatkan Tuhan dalam urusan ini. Segala upaya harus dilakukan guna menyelamatkan rakyat Indonesia dari kesengsaraan yang lebih parah.

Korupsi Bagai Makhluk Tak Akan 'Fana'



Mimpi di siang bolong, itulah gambaran yang mungkin bisa diwakilkan pada harapan warga-negara di negeri ini untuk menghilangkan korupsi yang telah jadi musuh bersama. Jangankan warga-negara yang memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan beragam, para penegak hukum pun, sesungguhnya tak terlalu bisa dandalkan untuk membereskan masalah ini.


Simak saja, bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalankan pemberantasan korupsi di negeri ini, lembaga anti korupsi ini hanya mampu melakukan proses penindakan pelaku korupsi dan tak lebih. Meski begitu, penduduk Indonesia haruslah tetap mengapresiasi kerja-kerja yang telah dilakukan komisi ini.

KPK memang telah berhasil menjebloskan banyak koruptor ke penjara, di antaranya adalah hakim, jaksa, polisi, pejabat negara lainnya, pengusaha sebagai mitra mereka, bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi uniknya, hukuman itu tak banyak berpengaruh, karena korupsi tetap saja berlangsung secara massif, bahkan hingga kini.

Dari sekian banyak kasus penindakan korupsi oleh KPK, kemudian berujung pada dibuihnya para koruptor itu, maka sebagian besar merupakan kasus yang bermula dari sebuah proyek di instansi pemerintah atau proyek dengan dana dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kini pertanyaannya adalah, mengapa korupsi ini justru lebih banyak terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek instansi pemerintah? Memang tak mudah menjawabnya, tapi yang pasti, sedari awal dalam proyek-proyek pemerintah itu, telah ‘dirancang’ menjadi sarana bancakan uang bagi banyak pihak.

Bila dana APBN pada 2012 sekitar Rp 1,400 triliun, bisa dibayangkan berapa besarnya uang yang telah dirancang untuk dijadikan bancakan bagi pihak-pihak tertentu. Jika sepuluh persen saja uang tersebut dikorupsi, maka nilainya setara dengan Rp 140 triliun, angka yang sangat besar sekali.

Bagi pebisnis proyek pemerintah dengan dana APBN, tentu akan sangat paham sekali, bagaimana mereka harus banyak berdamai dengan keinginan orang dalam (orang instansi pemerintah). Jika seorang pengusaha tak bisa melakukan ini, maka ia akan mendapatkan banyak kesulitan, baik untuk mendapatkan atau menyelesaikan sebuah proyek.

Seorang pebisnis muda yang tidak mau di ketahui identitasnya menyatakan bahwa dalam setiap proyek dengan dana APBN, pasti ada korupsi yang dilakukan. Karena sangat kecil kemungkinannya, orang dalam tidak meminta ‘haknya’ ketika sebuah proyek pemerintah dilaksakan seorang pengusaha.

Apalagi sedari awal, orang dalam telah mempersiapkan segalanya, termasuk dalam tahap awal perencanaan sebuah proyek dan besaran dana yang dibutuhkan. Karena alasan tertentu, seperti nilai tukar uang atau kurs, inflasi dan lain sebagainya, maka dana sebuah proyek akan membengkak dari kebutuhan dasar dana yang sesungguhnya.

Kelebihan dana dari kebutuhan dasar inilah yang kemudian dijadikan bancakan orang dalam instansi pemerintah. Sedangkan pengusaha tak punya pilihan lain kecuali menerima itu semua demi kelangsungan usahanya dan orang-orang yang bekerja padanya.

Hal-hal seperti ini seharusnya jadi prioritas bagi penegak hukum dan instansi pemerintah untuk duduk bersama mencari jalan keluar agar korupsi benar-benar bisa diminimalisir atau bahkan mungkin dihilangkan di Indonesia. Bila celah yang memberi kesempatan bagi koruptor untuk menjalankan aksinya masih saja terbuka lebar, maka sesungguhnya ada yang tidak nyambung dalam strategi pemberantasan korupsi di negeri ini.

Tanpa membereskan persoalan hulu di mana celah korupsi itu dipahat, maka keberadaan penegak hukum, seolah-olah hanya jadi fatamorgana saja. Atau sepertinya, KPK memang hanya kebagian peran menjadi super hero saja, yakni sebuah peran yang sesungguhnya hanya sebuah imajinasi dari banyak mansusia di dunia ini.

Konflik Freeport, di Tengah Usaha Renegosiasi Kontrak Tambang


Sahabat CANGKRUK AN kita patut bangga karena memiliki banyak SDA yang melimpah namun lagi-lagi kita tak dapat mengolahnya dan malah kita jual ke pihak Asing. Itu di karenakan SDM bangsa Indonesia masih jauh dari harapan, Dan kali ini kita akan membicarakan tentang Konflik di Tambang Terbesar di Indonesia yaitu Freeport.


Asap hitam membubung di langit Timika, papua. Penerbangan dari dan menuju Bandara Mozes Kilangin Timika pun  terganggu. Asap hitam itu, berasal dari tiga mobil kontainer yang dibakar massa di ruas jalan dari Pelabuhan Portsite menuju Tembagapura, tepatnya di Mil 28 samping Bandara Mozes Kilangin Timika dan di Terminal Bus Gorong-gorong Timika. 

Bandara Mozes Kilangin dan Terminal Bus Gorong-gorong, merupakan fasilitas dan jalur utama transportasi menuju lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura. 

Di lokasi itu, pada Senin 10 Oktober 2011, terjadi insiden berdarah. Ribuan karyawan PT Freeport Indonesia dan kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat wilayah tambang yang sedang melakukan aksi massa, bentrok dengan aparat keamanan. 

Massa yang datang dengan konvoi jalan kaki dari Sekretariat SPSI PT Freeport di Jalan Perintis Kemerdekaan Timika Indah, bermaksud naik ke lokasi tambang melalui Terminal Gorong-gorong. Tujuan mereka adalah untuk menghentikan sementara waktu operasional perusahaan. 

Aksi massa terhenti di pintu masuk Terminal Gorong-gorong. Pihak manajemen yang dibantu aparat keamanan menghadang mereka. Aksi kemudian memanas dan terjadilah bentrokan yang mengakibatkan seorang karyawan PT Freeport peserta aksi, Piter Ayami Seba, tertembak aparat keamanan dan meninggal. Beberapa orang lainnya, baik dari pihak karyawan maupun aparat, mengalami luka-luka. Massa yang marah, akhirnya membakar tiga mobil kontainer milik perusahaan dan memblokir ruas jalan Mil 28. 

Hingga saat ini, aksi pemblokiran di ruas jalan yang menjadi akses utama menuju lokasi pertambangan Freeport di Tembagapura tersebut, diberitakan masih terus berlangsung. Pihak perusahaan, seperti disampaikan Presiden Direktur & CEO PT Freeport Indonesia, Armando Mahler, di Timika, mengimbau agar aksi pemblokiran segera dibuka. Sebab, menurutnya, pemblokiran akan dapat menghambat suplai logistik, makanan dan obat-obatan termasuk bahan bakar untuk pesawat dari Pelabuhan Porsite Amamapare ke Timika dan Tembagapura.

Melalui videoconference yang disiarkan kantor PT Freeport di Jakarta, juga digambarkan kondisi karyawan di dalam lokasi pertambangan yang terblokir. Mereka, seperti disiarkan dalam videoconfence, merasa sangat tertekan.

Aparat keamanan juga terus melakukan negosiasi, agar pemblokiran dibuka. Tim Asistensi dari Mabes Polri, yang diketuai oleh Brigjen Pol Paulus Waterpauw ikut turun tangan melakukan pendekatan terhadap kelompok masyarakat yang memblokir.

Buntut Konflik

Insiden berdarah di Trerminal Gorong-gorong Timika, dapat dikatakan sebagai buntut konflik antara karyawan dan manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut, yang tak kunjung terseleseikan.

Sejak sekitar April lalu, mencuat tuntutan sebagian karyawan PT Freeport. Melalui SPSI perusahaan ini, para karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan kepada pihak manajemen. Selain itu para karyawan, yang sebagian besar merupakan warga Papua, meminta lahan hak ulayat.

Sampai beberapa bulan, pihak manajemen PT Freeport belum memberikan tanggapan. Maka, sejak tanggal 15 September ribuan karyawan yang diorganisasi SPSI perusahaan ini, melakukan aksi mogok kerja di Timika. 

Konflik antara karyawan dan manajemen PT Freeport yang meruncing ini, mendorong pihak ahli waris pemilik hak ulayat atas lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura hingga Grasberg (Bug Negel) terlibat menyeleseikan. Pada 23 September, Bug Negel, Silas Natkime, mengirimkan surat kesediaan memfasilitasi penyeleseian konflik kepada pemegang saham PT Freeport McMoRan Copper & Gold, James R. Moffet, di New Orleans Amerika Serikat.

Silas adalah putra kandung Tuarek Natkime selaku pemilik ulayat atas areal pertambangan PT Freeport di Tembagapura, Mimika, Papua. Ia mengatakan, sangat prihatin dengan masalah yang saat ini terjadi di lingkungan PT Freeport dan tidak menginginkan aset dan lambang perusahaan tambang ini dihancurkan.

Tidak hanya pihak ahli waris tanah ulayat, konflik Freeport bahkan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua mengeluarkan rekomendasi atas konflik yang tak kunjung selesei. Lembaga perwakilan resmi rakyat dan kelompok adat di Papua ini, dalam pertemuannya pada 7 Oktober di Jayapura, meminta PT Freeport untuk menghentikan sementara operasionalnya sampai ada penyeleseian konfliknya dengan karyawan.

Rekomendasi itulah yang menjadi salah satu dasar karyawan dalam melakukan aksi pada 10 Oktober, karena dikabarkan PT Freeport terus melakukan operasional perusahaannya, bahkan dengan mendatangkan tenaga-tenaga baru dari luar Papua.

Penembakan

Beberapa hari setelah insiden berdarah di Terminal Gorong-gorong, muncul insiden lain, juga di lokasi PT Freeport. Sebuah mobil milik Departemen Manajemen Keamanan dan Resiko Manajemen perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini, dikabarkan ditembak orang tak dikenal.

Insiden Penembakan terjadi di Mil 37 ruas jalan Tanggul Timur menuju Kampung Nayaro, Mimika, Papua pada Jumat, 14 Oktober 2011, sekitar siang hari. Tiga orang karyawan perusahaan kontraktor PT Freeport dikabarkan meninggal. Sedangkan dua orang petugas keamanan dikabarkan terluka tembak.

Pihak PT Freeport Indonesia, membenarkan terjadinya insiden penembakan tersebut dan meminta pihak aparat berwenang mengusut tuntas kasus itu. Pihak perusahaan menyebut kasus penembakan yang sudah beberapa kali terjadi di lokasi pertambangan ini, sebagai bentuk teror. 

Dalam pencermatan PT Freeport, sejak 8 Juli 2009, insiden penembakan sudah menyebabkan 8 orang meninggal dan sekitar 40 orang lainnya luka-luka, dari karyawan PT Freeport maupun perusahaan kontraktornya. Dan, selama dua tahun tersebut, pelaku penembakan disebutkan belum terungkap. 

Renegosiasi

Meruncing dan belum adanya tanda-tanda penyeleseian konflik antara karyawan dan manajemen PT 
Freeport Indonesia, memang memunculkan tanda tanya. Beberapa pernyataan dari pihak perusahaan ini, memang terlihat masih keberatan dengan tuntutan karyawan. 

Tuntutan menanaikkan kesejahteraan karyawan dan permintaan hak lahan tanah ulayat oleh sebagian kelompok masyarakat Papua, dirasa akan berpengaruh besar terhadap biaya produksi perusahaan yang sudah beroperasi selama lima dasawarsa di Papua tersebut. Pihak Freeport juga menyatakan akan menindak tegas karyawannya yang menghalangi karyawan lain untuk terus bekerja.

Hanya saja, terkait tuntutan lahan tanah hak ulayat, secara tidak langsung sudah dapat diredam. Hal ini terlihat dari pernyataan Bug Negel, Silas Natkime, setelah terjadinya insiden berdarah. Silas meminta kepada kelompok-kelompok masyarakat lain (tujuh kelompok sempat disebutkan terlibat dalam aksi 10 Oktober) untuk tidak terlibat dalam konflik Freeport. Menurutnya, konflik Freeport, murni terjadi antara SPSI dan manajemen.

Menarik juga untuk dicermati, bahwa muncuatnya konflik ini, seiring dengan adanya usaha renegosiasi kontrak-kontrak tambang di Indonesia. Seperti diketahui, saat ini Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan adanya negosiasi ulang kontrak tambang untuk lebih memberikan keuntungan kepada negara.

Renegosiasi menurut Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite, setidaknya mencakup beberapa hal. Diantaranya, luas wilayah, royalti, divestasi, jasa nasional, dan jangka waktu. 

Untuk royalti, misalnya, pemerintah, menginginkan agar renegosiasi bisa mendorong perusahaan tambang membayarnya dengan benar. Berdasarkan PP Nomer 13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. Selain itu juga ada Peraturan Pemerintah Nomer 45 Tahun 2003 mengenai Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sejauh ini, menurut Thamrin, usaha renegosiasi tersebut, sudah menjadi komitmen sekitar 65 persen perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Hanya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, hingga kini belum mau mengeluarkan komitmen renegosiasi yang sedang diusahakan pemerintah.