Antara Januari-Februari 2011, sebuah skenario yang menentukan perjalanan Partai Demokrat hingga seperti sekarang ini, mulai dijalankan. Pada waktu itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menyadap Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Menurut sumber yang tak mau disebutkan namanya dan memiliki hubungan khusus dengan orang-orang dalam di lingkungan Kemenpora menyatakan, pada saat itu, informasi bahwa KPK sedang melakukan penyadapan sampai ke telinga orang-orang Kemenpora.
Entah bagaimana, informasi terkait mulai dilakukannya penyadapan oleh KPK itu bisa bocor. Namun demikian, ternyata penyebaran informasi itu, tak merata diterima orang-orang Kemenpora. Buktinya, Sekretaris Menpora, Wafid Muharram sukses digelandang KPK pada 21 April 2011.
Sedangkan Choel Mallaranggeng yang merupakan adik Menpora Andi Malarangeng, dimana sering disebut oleh Nazaruddin sebagai orang yang mengatur semua proyek di Kemenpora justru lolos dari proses penyadapan ini.
Kini yang jadi pertanyaan, mengapa pada waktu itu tak semua pejabat tinggi di Kemenpora mendapatkan informasi bahwa KPK sedang melakukan penyadapan? Bila informasi itu disebar merata, tentu Wafid akan ‘tiarap’ dan hati-hati saat ‘bertransaksi’ di Kemenpora. Atau iformasi itu memang hanya diteruskan kepada ‘kawan’ dan bukan kepada ‘lawan’ di lingkungan Kemenpora?
Bukankah Nazaruddin juga pernah menyebutkan bahwa Wafid memberikan dukungan kepada Anas Urbaningrum saat maju sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat (PD) pada Kongres di Bandung, tapi ia meminta pula agar dukungan itu jangan sampai diketahui Andi Malarangeng.
Dari keterangan itu, secara sederharna bisa disebutkan bahwa Wafid sesungguhnya adalah lawan Andi Mallarangeng. Seperti diketahui bersama, Andi yang mendapat restu Cikeas, menjadi rival Anas pada saat perebutan Ketum PD di Kongres Bandung.
Bisa jadi, karena persoalan ini pula, pada waktu itu Wafid tidak memperoleh informasi bahwa KPK sedang melakukan penyadapan di Kemenpora. Wafid tak sadar “terus berlari kencang”, di saat rekan-rekan sejawatnya justru “diam di tempat” mengantisipasi segala kemungkinan.
Lalu bagaimana pula sebuah informasi yang sangat rahasia bahwa KPK sedang melakukan penyadapan bisa bocor ke orang-orang Kemenpora? Sebelumnya, informasi serupa juga pernah bocor, yakni ketika KPK menyadap aparat Polri sehingga bermuara pada munculnya kasus Cicak vs Buaya
Melihat kasus yang pernah muncul sebelumnya, yakni kasus Cicak vs Buaya, pada waktu itu, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‘dikerjai’ aparat kepolisian. Bahkan Kepala Bagian Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri saat itu, Susno Duadji mengetahui betul bahwa dirinya sedang disadap, sehingga melakukan upaya kontra intelijen.
Semua penduduk di negeri ini, pada akhirnya mengetahui bagaimana kasus itu berujung dan polemik berkepanjangan yang mengikutinya. Tapi yang pasti, dari kasus itu dapat diketahui, bocornya informasi bahwa KPK sedang melakukan penyadapan adalah sebuah keniscayaan dan sudah pernah terjadi sebelumnya. Hal yang sama juga bisa terulang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Munculnya fakta-fakta pada tulisan di bagian 1 dan munculnya keniscayaan terkait bocornya informasi bahwa KPK sedang melakukan penyadapan, telah memunculkan banyak pertanyaan menggelitik. Siapa sesungguhnya pembocor informasi itu, lalu apa motifnya dan untuk siapa ia bekerja?
Memang tak mudah menjawab pertanyaan itu, namun bila melihat ekses yang ditimbulkan dari kasus Kemenpora terhadap Partai Demokrat (PD) dan orang-orang yang disebutkan terkait dengan kasus tersebut, maka bisa dipastikan bahwa operasi intelijen ini sesungguhnya telah dirancang sangat matang dan sangat profesional.
Walaupun sumber informasi yang disebutkan pada tulisan bagian 1 tidak menyatakan secara detil, siapa aktor-aktor yang ‘bermain’ di awal terkait kasus ini, ia menyebutkan bahwa informasi KPK sedang menyadap Kemenpora disampaikan orang dalam PD sendiri. Keterangan ini jelas sangat menarik, tapi sayang saat itu, keterangan tersebut tak bisa ditelusuri lebih jauh lagi.
Sumber itu juga tak mengetahui, bagaimana si informan pembocor tersebut bisa mendapatkan informasinya bahwa KPK sedang melakukan penyadapan kepada Kemenpora. Namun, ia memberi sinyalemen bahwa kasus ini merupakan ‘permainan’ tingkat tinggi.
Ketika ditanyakan kepada sumber itu, tentang kemungkinan Presiden SBY mengetahui skenario tersebut, ia mengernyitkan dahi dan membuka dua telapak tangannya, memberi isyarat bahwa ia tak tahu-menahu terkait itu. Akibatnya, rasa penasaran semakin tak terbendung lagi untuk menyelami kasus ini lebih dalam.
Lalu keterangan terbatas dari sumber tersebut menjadi lebih menarik, ketika kemudian diketahui siapa sesungguhnya jati diri dari si informan pembocor itu. Ia diketahui sebagai simpatisan PD yang bergabung pada 2007. Penulusuran lanjutan juga menunjukkan, ia tampak segaris dengan tokoh-tokoh PD di luar garis Anas Cs.
Kini muncul pertanyaan, apakah si informan pembocor itu melaksanakan aksinya, sesungguhnya dengan maksud demi menyelamatkan semua kader PD yang terlibat bisnis di Kemenpora? Atau justru ia melakukan itu semua, hanya untuk ‘menyingkirkan’ beberapa kader PD lewat bisnis yang ‘bermasalah’ di Kemenpora?